Masjid dan Kamu (Part 2)
Nah, kali ini cerita yg sempet terhambat ini akan dilanjutin lagi nih. Happy reading guys! ^^
Surat Untukmu
Sendiri..
Aku menantikan kehadiranmu
Kau yang jauh di sana
Sudah terlalu lama pergi meninggalkanku
Meninggalkan segala kenangan
yang tak mudah dilupakan
Sosokmu yang ku temui waktu pagi
Terus menjadi sosok yang selalu ku ingat
Dalam setiap do'a, namamu tak pernah ku lupa
Kau...
Inspirasi dalam setiap tulisanku
Memberikan warna yang berbeda
dalam setiap hariku
Untukmu,
Sosok yang menjanjikan hangatnya mentari pagi,
sehangat senyummu yang kau tebarkan ke setiap orang
Untukmu,
Sosok yang sinarnya melebihi sinar bintang
Menerangi malamku dengan sinar kasihmu
yang membuatku hangat karenanya
Untukmu,
Sosok yang lebih indah dari purnama sekalipun
Terima kasih telah memberi warna kehidupanku
dengan segala kelebihanmu
yang menyempurnakan segala kekuranganku
****
Beberapa bulan yang lalu aku bertemu sosok yang sangat menarik perhatianku dimasjid ini. Kini, dia pergi jauh meninggalkan kesan yang mendalam bagiku. Jujur saja, walaupun Kak Syafiq sudah beberapa bulan yang lalu pergi, aku merasa dia masih ada dekat denganku. Entah ini perasaan apa, tapi yang jelas aku merasakannya. Setiap malam aku berdo'a agar ia cepat menyelesaikan kuliahnya di Jerman sana dan segera menemuiku lagi. Aku rindu. Hingga akhirnya aku menulis sebuah puisi untuknya yang aku kirimkan lewat e-mail kepadanya. Surat Untukmu
Sendiri..
Aku menantikan kehadiranmu
Kau yang jauh di sana
Sudah terlalu lama pergi meninggalkanku
Meninggalkan segala kenangan
yang tak mudah dilupakan
Sosokmu yang ku temui waktu pagi
Terus menjadi sosok yang selalu ku ingat
Dalam setiap do'a, namamu tak pernah ku lupa
Kau...
Inspirasi dalam setiap tulisanku
Memberikan warna yang berbeda
dalam setiap hariku
Untukmu,
Sosok yang menjanjikan hangatnya mentari pagi,
sehangat senyummu yang kau tebarkan ke setiap orang
Untukmu,
Sosok yang sinarnya melebihi sinar bintang
Menerangi malamku dengan sinar kasihmu
yang membuatku hangat karenanya
Untukmu,
Sosok yang lebih indah dari purnama sekalipun
Terima kasih telah memberi warna kehidupanku
dengan segala kelebihanmu
yang menyempurnakan segala kekuranganku
"Huh! Terkirim juga akhirnya. Semoga cepet dibaca deh," gumamku.
Setelah mengirim e-mail tersebut, aku memutuskan untuk tidur karena mataku sudah meminta untuk diistirahatkan. Berharap besok pagi Kak Syafiq membalasnya. Sudah beberapa minggu ini, Kak Syafiq sangat sibuk dengan kuliahnya sehingga kita sudah jarang sekali berkomunikasi. Aku hanya berharap Kak Syafiq bisa cepat membalas e-mail dariku. Aku sangat rindu kepadanya.
Untukmu, yang selalu hadir di mimpiku. Mengisi kekosongan jiwaku
Seperti biasa, pagi ini aku sedang bersiap untuk berangkat ke kampus saat tiba-tiba ponselku berdering tanda ada pesan masuk. Segera aku meraih ponselku yang terletak di meja belajar untuk membuka pesan tersebut. Pesannya berasal dari nomor yang tidak ku kenal, sepertinya bukan nomor telepon lokal. Dan, betapa senangnya aku saat membaca isinya,
Ass.. Aqilla. Pasti di sana sudah pagi, ya? Selamat pagi. Ini aku, Kak Syafiq. Aku sudah membaca puisimu tadi dan aku sangat suka. Suka sekali. Lain kali aku boleh ya meminta dibuatkan puisi lagi olehmu. Ohya, kamu pasti sedang bersiap pergi ke kampus, kan? Okedeh, kalau gitu hati-hati dijalan, Aqilla.
Lega rasanya Kak Syafiq menghubungiku lagi, meskipun hanya melalui sebuah pesan singkat. Akupun segera membalas pesan itu dan tentu saja dengan perasaan berbunga-bunga. Setelah sarapan dan pamit dengan Mama dan Papa, aku langsung mengendarai motorku menuju kampus.
Tidak dipungkiri lagi, hatiku sangat senang hari ini. Terbukti, sejak tiba di kampus tadi, setiap orang yang bertemu denganku mendapat senyuman ramah dariku dan mungkin membuat sebagian dari mereka bingung dan menganggapku punya kelainan, khususnya hari ini. Tapi, aku tidak peduli. Aku hanya ingin berbagi kebahagiaan dengan orang lain, tak terkecuali dengan Muti.
Sejak Kak Syafiq ke Jerman, Muti lah yang selalu menyemangatiku dan meyakinkan aku kalau Kak Syafiq akan balik lagi dan kembali kepadaku. Muti selalu punya cara untuk aku merasa lebih baik setelah bertemu dan bercerita dengannya. Pembawaannya yang asyik, ceria, ramai, bersahabat dan ceplas-ceplos itu yang membuat hampir setiap orang nyaman berada di dekatnya, termasuk aku. Muti bukan hanya sekedar sahabat bagiku, dia lebih dari itu. Aku sudah menganggap dia seperti saudara kandungku sendiri.
Empat tahun kemudian....
Saat ini, aku bekerja di salah satu kantor redaksi sebuah majalah remaja muslimah ternama. Aku sudah bekerja di sini sejak dua bulan lalu, tepatnya setelah wisudaku. Beberapa tahun ini tidak ada yang berubah dariku, dari hatiku. Kak Syafiq. Nama itu masih tetap terukir indah di hatiku. Bahkan saat ia mencoba menjauh dariku seperti saat ini. Aku masih tetap setia menunggunya sampai ia kembali dari pendidikannya di Jerman.
Hari demi hari aku isi dengan penantian yang tak berujung. Sampai hari ini tiba...
"Qilla! Lo udah tau sesuatu belum?" Kata Muti membuka percakapan kami di sebuah rumah makan.
"Sesuatu? Apaan?" Jawabku.
"Kak Syafiq hari ini pulang ke Indo! Lo gak tau?" Kata Muti lagi hampir seperti berteriak.
Kata-kata Muti barusan membuatku sibuk dengan imajinasiku sendiri. Memikirkan bagaimana bentuk pria itu sekarang, masih sama seperti dulu atau sudah lebih dewasa. Imajinasiku terus berkembang memikirkan hal itu. Juga memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi jika aku bertemu dia lagi saat Muti membangunkanku dari imajinasiku sendiri.
"Qilla!!! Lo denger gue gak sih? Malah bengong," kata Muti setengah berteriak.
"I..iya.. Denger kok. Kak Syafiq mau pulang, kan? Bagus dong kalau gitu," kataku.
"Iya bagus. Jadi kalian bisa tuh lanjutin cerita cinta kalian yang waktu itu sempat tertunda itu. Iya, kan?" Kata Muti.
"Hmm.. Gue gak yakin. Bisa aja dia udah nemuin cewek yang jauh lebih baik di Jerman sana. Terakhir gue kontakan sama dia aja gue lupa," kataku bergeming.
"Apaan sih? Kok lo jadi begini? Bukan Aqilla yang biasa nih. Lo kenapa sih?" Tanya Muti.
"Ini gue Aqilla. Gue cuma gak mau terlarut dalam perasaan gue sendiri. Gimana pun, Kak Syafiq punya kehidupan sendiri di sana. Jadi, bukan gak mungkin kalau dia juga ketemu perempuan yang lebih baik dari gue," kataku menjelaskan.
"Qil, dengerin gue, ya. Gue tau banget Kak Syafiq itu orangnya gimana. Kakak gue banyak cerita tentang dia. Dia bukan tipe cowok yang gampang terpengaruh sama hal-hal yang gak seharusnya dia lakuin. Dia pasti tepatin janjinya ke elo. Percaya deh," kata Muti penuh keyakinan.
"Tapi Mut.." Kataku ragu.
"Apa lagi sih? Masih ragu? Udah deh, pokoknya lo tenang aja. Kalau Kak Syafiq udah di Indo dia pasti ke rumah gue buat ketemu kakak gue. Nanti biar gue yang tanya langsung sama dia," kata Muti.
"Makasih ya, Mut. Lo udah baik banget sama gue," kataku.
"Iya sama-sama. Udah yuk makan, laper nih," balas Muti kepadaku.
Sisa pertemuan itu kami habiskan untuk makan dan bercerita tentang pekerjaan masing-masing. Muti sekarang bekerja di salah satu stasiun televisi khusus berita dan menjadi seorang jurnalis. Kami sering menghabiskan waktu istirahat siang dengan makan siang bersama di suatu tempat yang sudah direncanakan sebelumnya, seperti saat ini.
Qil, hari ini lo libur kan? Gue tunggu lo di mall biasa jam 4 sore. Jangan sampai gak dateng! Penting! See you^^
Pesan singkat dari Muti tadi membuatku berpikir heran. Ada kepentingan apa sampai Muti menyuruhku datang nanti sore. Biasanya, kalau dia mengajakku ke mall itu hanya untuk ditemani nonton film terbaru atau sekedar jalan-jalan biasa. Sama seperti kali ini, pasti hanya sekadar itu. Dan kebetulan ini hari sabtu dan memang sudah jadwalku libur dihari ini.
Pukul tiga lewat tiga puluh menit, aku meminta izin kepada Mama untuk pergi menemui Muti di mall tersebut. Dengan celana jeans hitam, baju pink, hijab berwarna pink dilengkapi dengan tas berwarna serupa ditambah dengan sepasang flat shoes hitam yang menghiasi kakiku, aku berangkat menemui Muti dengan motor kesayanganku.
"Aqilla!" Panggil Muti dari belakang saat aku tiba di depan pintu masuk mall.
"Eh elo baru dateng juga? Mau ngapain sih ke sini? Emang ada film baru, ya?" Tanyaku kepada Muti.
"Enggak sih, gue cuma minta temenin lo aja buat jalan-jalan biasa. Paling nanti cuma makan aja kok," kata Muti santai.
"Huh! Udah gue duga. Ya udah, yuk." Kataku mengajak Muti berjalan ke dalam mall.
Dugaanku tadi tidak salah. Muti hanya minta ditemani untuk jalan-jalan biasa. Anak satu ini memang selalu begitu, tidak pernah bisa diam di rumah meskipun hanya satu hari.
"Qil, makan yuk. Laper nih gue," kata Muti akhirnya setelah pegal berjalan mengitari mall selama kurang lebih satu setengah jam.
"Yuk. Mau makan di mana nih?" Kataku.
"Di situ aja, keliatannya ramai tuh, pasti enak," kata Muti sambil menunjuk sbuah restoran steak yang ramai pengunjung.
"Hmm.. Boleh deh, yuk," kataku akhirnya.
Kami pun berjalan menuju tempat makan itu. Saat di depan pintu masuk, Muti ingin ke toilet dulu. Akhirnya aku menunggu Muti di depan pintu masuk restoran itu sambil memainkan ponselku. Tiba-tiba ada seseorang yang berdiri di depanku sambil bertanya kepadaku dengan suara yang sudah sangat ku kenal.
"Hei, serius banget keliatannya? Boleh ditemenin gak?" Kata orang itu.
Detik berikutnya, aku segera mengalihkan pandanganku dari ponsel ke orang yang barusan bertanya kepadaku. Aku tak bisa menahan mulutku untuk berteriak saat melihat siapa yang ada di hadapanku saat ini.
"Subhanallah! Kak Syafiq???!!" Seruku sambil berteriak membuat orang yang lewat di depanku menatapku bingung.
"He he, iya ini aku. Kamu apa kabar?" Jawab Kak Syafiq dengan senyum khasnya yang selalu ku ingat.
"Alhamdulillah, aku baik. Kakak apa kabar?" Balasku kepada Kak Syafiq.
"Alhamdulillah, aku baik juga," jawab Kak Syafiq.
"Ehem... Kangen-kangenannya jangan di sini dong, malu. Masuk aja yuk ke dalam, laper nih.." kata Muti tiba-tiba yang entah sejak kapan kembali dari toilet, dijawab dengan tawaku dan Kak Syafiq tersipu.
"Hey, udah di sini kok malah diem sih? Kaku banget kalian, bikin geregetan aja deh," kata Muti membuka keheningan di antara kita bertiga.
"Muti dari dulu gak pernah berubah ya, masih bawel. Kirain pas Kakak pulang ke Indo si Muti udah berubah jadi cewek kalem, ternyata malah tambah bawel," kata Kak Syafiq sambil tertawa.
"Ih kalau aku berubah jadi kalem, dunia jadi gak seru lagi kak. Dan, gak ada yang mulai pembicaraan kalian berdua yang kayak gini nih," balas Muti.
"Bisa aja kamu, Mut," kata Kak Syafiq.
Sore itu kami habiskan untuk ngobrol bersama hingga tak terasa kalau sudah masuk waktu magrib. Kami pun memutuskan untuk sholat magrib di musholla dan akan melanjutkan untuk jalan-jalan lagi setelahnya. Senang rasanya bisa melihat Kak Syafiq dan menghabiskan waktu bersama dia seperti dulu. Aku sangat merindukan saat-saat kebersamaan kita. Dan, malam itu aku, Muti, juga Kak Syafiq menghabiskan waktu dengan berjalan mengitari mall tersebut kakiku terasa pegal.
Seperti biasa, pagi ini aku sedang bersiap untuk berangkat ke kampus saat tiba-tiba ponselku berdering tanda ada pesan masuk. Segera aku meraih ponselku yang terletak di meja belajar untuk membuka pesan tersebut. Pesannya berasal dari nomor yang tidak ku kenal, sepertinya bukan nomor telepon lokal. Dan, betapa senangnya aku saat membaca isinya,
Ass.. Aqilla. Pasti di sana sudah pagi, ya? Selamat pagi. Ini aku, Kak Syafiq. Aku sudah membaca puisimu tadi dan aku sangat suka. Suka sekali. Lain kali aku boleh ya meminta dibuatkan puisi lagi olehmu. Ohya, kamu pasti sedang bersiap pergi ke kampus, kan? Okedeh, kalau gitu hati-hati dijalan, Aqilla.
Lega rasanya Kak Syafiq menghubungiku lagi, meskipun hanya melalui sebuah pesan singkat. Akupun segera membalas pesan itu dan tentu saja dengan perasaan berbunga-bunga. Setelah sarapan dan pamit dengan Mama dan Papa, aku langsung mengendarai motorku menuju kampus.
Tidak dipungkiri lagi, hatiku sangat senang hari ini. Terbukti, sejak tiba di kampus tadi, setiap orang yang bertemu denganku mendapat senyuman ramah dariku dan mungkin membuat sebagian dari mereka bingung dan menganggapku punya kelainan, khususnya hari ini. Tapi, aku tidak peduli. Aku hanya ingin berbagi kebahagiaan dengan orang lain, tak terkecuali dengan Muti.
Sejak Kak Syafiq ke Jerman, Muti lah yang selalu menyemangatiku dan meyakinkan aku kalau Kak Syafiq akan balik lagi dan kembali kepadaku. Muti selalu punya cara untuk aku merasa lebih baik setelah bertemu dan bercerita dengannya. Pembawaannya yang asyik, ceria, ramai, bersahabat dan ceplas-ceplos itu yang membuat hampir setiap orang nyaman berada di dekatnya, termasuk aku. Muti bukan hanya sekedar sahabat bagiku, dia lebih dari itu. Aku sudah menganggap dia seperti saudara kandungku sendiri.
Empat tahun kemudian....
Saat ini, aku bekerja di salah satu kantor redaksi sebuah majalah remaja muslimah ternama. Aku sudah bekerja di sini sejak dua bulan lalu, tepatnya setelah wisudaku. Beberapa tahun ini tidak ada yang berubah dariku, dari hatiku. Kak Syafiq. Nama itu masih tetap terukir indah di hatiku. Bahkan saat ia mencoba menjauh dariku seperti saat ini. Aku masih tetap setia menunggunya sampai ia kembali dari pendidikannya di Jerman.
Hari demi hari aku isi dengan penantian yang tak berujung. Sampai hari ini tiba...
"Qilla! Lo udah tau sesuatu belum?" Kata Muti membuka percakapan kami di sebuah rumah makan.
"Sesuatu? Apaan?" Jawabku.
"Kak Syafiq hari ini pulang ke Indo! Lo gak tau?" Kata Muti lagi hampir seperti berteriak.
Kata-kata Muti barusan membuatku sibuk dengan imajinasiku sendiri. Memikirkan bagaimana bentuk pria itu sekarang, masih sama seperti dulu atau sudah lebih dewasa. Imajinasiku terus berkembang memikirkan hal itu. Juga memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi jika aku bertemu dia lagi saat Muti membangunkanku dari imajinasiku sendiri.
"Qilla!!! Lo denger gue gak sih? Malah bengong," kata Muti setengah berteriak.
"I..iya.. Denger kok. Kak Syafiq mau pulang, kan? Bagus dong kalau gitu," kataku.
"Iya bagus. Jadi kalian bisa tuh lanjutin cerita cinta kalian yang waktu itu sempat tertunda itu. Iya, kan?" Kata Muti.
"Hmm.. Gue gak yakin. Bisa aja dia udah nemuin cewek yang jauh lebih baik di Jerman sana. Terakhir gue kontakan sama dia aja gue lupa," kataku bergeming.
"Apaan sih? Kok lo jadi begini? Bukan Aqilla yang biasa nih. Lo kenapa sih?" Tanya Muti.
"Ini gue Aqilla. Gue cuma gak mau terlarut dalam perasaan gue sendiri. Gimana pun, Kak Syafiq punya kehidupan sendiri di sana. Jadi, bukan gak mungkin kalau dia juga ketemu perempuan yang lebih baik dari gue," kataku menjelaskan.
"Qil, dengerin gue, ya. Gue tau banget Kak Syafiq itu orangnya gimana. Kakak gue banyak cerita tentang dia. Dia bukan tipe cowok yang gampang terpengaruh sama hal-hal yang gak seharusnya dia lakuin. Dia pasti tepatin janjinya ke elo. Percaya deh," kata Muti penuh keyakinan.
"Tapi Mut.." Kataku ragu.
"Apa lagi sih? Masih ragu? Udah deh, pokoknya lo tenang aja. Kalau Kak Syafiq udah di Indo dia pasti ke rumah gue buat ketemu kakak gue. Nanti biar gue yang tanya langsung sama dia," kata Muti.
"Makasih ya, Mut. Lo udah baik banget sama gue," kataku.
"Iya sama-sama. Udah yuk makan, laper nih," balas Muti kepadaku.
Sisa pertemuan itu kami habiskan untuk makan dan bercerita tentang pekerjaan masing-masing. Muti sekarang bekerja di salah satu stasiun televisi khusus berita dan menjadi seorang jurnalis. Kami sering menghabiskan waktu istirahat siang dengan makan siang bersama di suatu tempat yang sudah direncanakan sebelumnya, seperti saat ini.
Qil, hari ini lo libur kan? Gue tunggu lo di mall biasa jam 4 sore. Jangan sampai gak dateng! Penting! See you^^
Pesan singkat dari Muti tadi membuatku berpikir heran. Ada kepentingan apa sampai Muti menyuruhku datang nanti sore. Biasanya, kalau dia mengajakku ke mall itu hanya untuk ditemani nonton film terbaru atau sekedar jalan-jalan biasa. Sama seperti kali ini, pasti hanya sekadar itu. Dan kebetulan ini hari sabtu dan memang sudah jadwalku libur dihari ini.
Pukul tiga lewat tiga puluh menit, aku meminta izin kepada Mama untuk pergi menemui Muti di mall tersebut. Dengan celana jeans hitam, baju pink, hijab berwarna pink dilengkapi dengan tas berwarna serupa ditambah dengan sepasang flat shoes hitam yang menghiasi kakiku, aku berangkat menemui Muti dengan motor kesayanganku.
"Aqilla!" Panggil Muti dari belakang saat aku tiba di depan pintu masuk mall.
"Eh elo baru dateng juga? Mau ngapain sih ke sini? Emang ada film baru, ya?" Tanyaku kepada Muti.
"Enggak sih, gue cuma minta temenin lo aja buat jalan-jalan biasa. Paling nanti cuma makan aja kok," kata Muti santai.
"Huh! Udah gue duga. Ya udah, yuk." Kataku mengajak Muti berjalan ke dalam mall.
Dugaanku tadi tidak salah. Muti hanya minta ditemani untuk jalan-jalan biasa. Anak satu ini memang selalu begitu, tidak pernah bisa diam di rumah meskipun hanya satu hari.
"Qil, makan yuk. Laper nih gue," kata Muti akhirnya setelah pegal berjalan mengitari mall selama kurang lebih satu setengah jam.
"Yuk. Mau makan di mana nih?" Kataku.
"Di situ aja, keliatannya ramai tuh, pasti enak," kata Muti sambil menunjuk sbuah restoran steak yang ramai pengunjung.
"Hmm.. Boleh deh, yuk," kataku akhirnya.
Kami pun berjalan menuju tempat makan itu. Saat di depan pintu masuk, Muti ingin ke toilet dulu. Akhirnya aku menunggu Muti di depan pintu masuk restoran itu sambil memainkan ponselku. Tiba-tiba ada seseorang yang berdiri di depanku sambil bertanya kepadaku dengan suara yang sudah sangat ku kenal.
"Hei, serius banget keliatannya? Boleh ditemenin gak?" Kata orang itu.
Detik berikutnya, aku segera mengalihkan pandanganku dari ponsel ke orang yang barusan bertanya kepadaku. Aku tak bisa menahan mulutku untuk berteriak saat melihat siapa yang ada di hadapanku saat ini.
"Subhanallah! Kak Syafiq???!!" Seruku sambil berteriak membuat orang yang lewat di depanku menatapku bingung.
"He he, iya ini aku. Kamu apa kabar?" Jawab Kak Syafiq dengan senyum khasnya yang selalu ku ingat.
"Alhamdulillah, aku baik. Kakak apa kabar?" Balasku kepada Kak Syafiq.
"Alhamdulillah, aku baik juga," jawab Kak Syafiq.
"Ehem... Kangen-kangenannya jangan di sini dong, malu. Masuk aja yuk ke dalam, laper nih.." kata Muti tiba-tiba yang entah sejak kapan kembali dari toilet, dijawab dengan tawaku dan Kak Syafiq tersipu.
"Hey, udah di sini kok malah diem sih? Kaku banget kalian, bikin geregetan aja deh," kata Muti membuka keheningan di antara kita bertiga.
"Muti dari dulu gak pernah berubah ya, masih bawel. Kirain pas Kakak pulang ke Indo si Muti udah berubah jadi cewek kalem, ternyata malah tambah bawel," kata Kak Syafiq sambil tertawa.
"Ih kalau aku berubah jadi kalem, dunia jadi gak seru lagi kak. Dan, gak ada yang mulai pembicaraan kalian berdua yang kayak gini nih," balas Muti.
"Bisa aja kamu, Mut," kata Kak Syafiq.
Sore itu kami habiskan untuk ngobrol bersama hingga tak terasa kalau sudah masuk waktu magrib. Kami pun memutuskan untuk sholat magrib di musholla dan akan melanjutkan untuk jalan-jalan lagi setelahnya. Senang rasanya bisa melihat Kak Syafiq dan menghabiskan waktu bersama dia seperti dulu. Aku sangat merindukan saat-saat kebersamaan kita. Dan, malam itu aku, Muti, juga Kak Syafiq menghabiskan waktu dengan berjalan mengitari mall tersebut kakiku terasa pegal.
****
Untuk klimaks ceritanya ada di part 3. Cerita part 2 ini sampai di sini dulu, ya. Thanks guys!^^
Komentar
Posting Komentar