Untaian Rindu



“Apa kabar?” Katamu saat itu. Pertanyaan singkat yang biasa diucapkan seseorang setelah sekian lama tak bertemu. Namun bagiku kali ini berbeda, pertanyaan itu adalah kata pertama yang kau ucapkan saat pertama kali kita bertemu setelah bertahun-tahun kita saling mengenal. Cerita kita memang berbeda dari kisah cinta biasanya. Butuh waktu bertahun-tahun untuk hanya sekedar saling bertatap muka secara dekat. Bukan karena jarak kita yang terlalu jauh atau perkenalan kita yang hanya melalui jejaring sosial. Namun karena kesempatan yang memang datang terlambat.

 Saat itu kau terlihat seperti biasanya, saat pertama aku mengenal dirimu. Tak tampak perbedaan yang cukup nyata selain tinggimu yang sedikit bertambah. Kau memandangku seolah aku adalah orang yang harus kau lindungi. Aku menikmatinya. Menikmati setiap detik yang aku lewatkan bersamamu.

“Aku diterima kuliah di Yogya.” Katamu ketika kita sedang makan siang bersama di sebuah restoran cepat saji. Saat itu gelas yang berada di tanganku hampir saja jatuh mendengar perkataanmu. Sedikit namun menyesakkan.

“Lalu kamu akan pindah ke Yogya?” Tanyaku akhirnya.

“Ya. Dari dulu aku bermimpi untuk bisa belajar di sana.” Jawabmu dengan suara tegas. Seperti ditusuk-tusuk rasanya. Sangat sulit untukku menerima kenyataan yang ada. Ingin rasanya aku mencegahnya untuk pergi, namun aku tak punya hak apa-apa. Aku hanya sebatas teman, temannya berbagi cerita.

“Kalau begitu, pergilah. Impianmu sudah di depan mata,” kataku dengan berat hati.

“Kamu akan baik-baik saja di sini, kan?” Tanyamu yang semakin membuat dadaku terasa sakit.

“Ya. Tentu saja.” Jawabku sekenanya, memaksa seulas senyum dari bibirku. Tiba-tiba saja raut wajahmu terlihat lebih serius. Entah apa yang sedang kau pikirkan. Namun aku tahu itu bukan hal yang baik. Aku sudah mengenalmu cukup lama hanya untuk membaca raut wajahmu.

“Aku udah balikan sama Reina kemarin. Maaf  baru cerita sekarang.” Katamu akhirnya. Seolah menjawab dugaanku tentang raut wajahnya yang tak biasa itu.

“Oh ya? Bukannya itu berita bagus?” Jawabku dengan suara yang diusahakan ikut merasa senang telah mendengar pernyataan itu.

“Ya, seharusnya. Tapi aku merasa aku orang yang paling jahat. Entah untuk alasan apa, tapi memang itu yang aku rasakan.” Katamu lagi. Kalau kau tahu, raut wajahmu saat itu sangat sulit untuk dijelaskan maknanya. Tampak sangat murung dan… berpikir keras.

“Kenapa bisa begitu?” Tanyaku kemudian.

“Bintang, maafin aku. Tapi kita gak bisa deket lagi sebagai teman. Aku gak mau Reina mengira kita punya hubungan khusus. Maafin aku. Sekali lagi maafin aku, Bi.” Katamu hampir membuat jantungku berhenti berdetak. Entah apa yang harus aku lakukan saat itu. Meninggalkanmu atau berpura-pura terlihat baik-baik saja di hadapanmu. Yang pasti aku sangat ingin menghilang saat itu juga.

“Arsya, kenapa harus minta maaf? Aku tak masalah dengan keputusanmu. Aku mengerti posisimu sekarang. Kau sudah melakukan hal yang benar. Aku tahu ini yang terbaik untuk kita dan juga Reina.” Akhirnya berpura-pura adalah hal yang terbaik yang bisa aku lakukan saat itu. Meski sakit yang aku rasakan, namun aku lega melihat 
orang yang aku sayangi bahagia dengan pilihannya.

Sudah hampir tiga jam aku hanya duduk sendirian di café ini ditemani es krim yang sudah mencair di depanku. Mencoba mengingat kembali kejadian saat terakhir kali aku bertemu dengan Arsya dua tahun yang lalu. Sebelum ia pergi ke Yogya untuk mengejar impiannya. Saat ia mencoba memutuskan hal yang tidak mudah baginya namun harus 
ia lakukan.

Rindu. Hanya kata itu yang dapat mewakili perasaanku padanya saat ini. Kata yang menyebabkan aku duduk berjam-jam di sini hanya untuk mengingatnya kembali. Memutar kembali banyaknya memori indah yang sudah aku lewatkan bersamanya dulu. Saat dimana kita hampir saling memiliki dan perlahan kesempatanpun tak lagi berpihak kepadaku. Tak mudah melupakan sesuatu yang sudah hampir tergenggam. Itu lebih sulit daripada melupakan sesuatu yang pernah tergenggam.

Kini, aku tahu kau sudah bahagia dengannya. Aku tahu kau lelaki yang baik. Kau berhak  mendapatkan kebahagiaanmu bersama impianmu juga cinta sejatimu. Rasa rindu ini, biarlah kupeluk sendiri. Hingga ada seseorang yang datang mengisi tempatmu dan menggantikan rindu yang telah lama menyendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PKM Long Journey (Part 2)

Satu Kata Cinta

Masjid dan Kamu (Part 1)