Kisah Sebentar

     Masih segar dalam ingatan tentang mimpiku semalam. Hari di mana semua orang terasa sangat menyebalkan dan menjengkelkan dan setiap apapun yang aku lakukan selalu salah di mata mereka. Bukan apa-apa, aku hanya berharap semoga itu tidak terjadi dalam kehidupan nyataku. Akibat itu semua, sekolahku hari ini terasa sangat membosankan, karena aku sama sekali tidak mempunyai minat untuk bersikap ramah pada siapapun hari ini. Ah, sial!
Saat yang aku tunggu akhirnya tiba. Ya, bel pulang sekolah. Segera aku bergegas merapikan semua barang-barangku dan langsung pulang. Namun, ketika aku keluar kelas dan hendak berjalan ke arah tangga—karena memang letak kelasku yang berada di lantai dua, aku melihat segerombolan laki-laki yang sepertinya kelas 11 sedang bergerumul di dekat tangga dan menjaili para perempuan yang hendak melewati tangga tersebut. “Oh God, apa-apaan ini,” gerutuku dalam hati. “Huh, tenang Nadya, mereka adik kelas lo. Dan gak akan berani macem-macem sama lo,” kataku menenangkan diri. Dengan langkah pasti dan berusaha tetap tenang, aku melewati mereka dan tenyata benar saja.
“Hai Kakak Nadya cantik, mau dianter aku, gak?” goda salah satu dari mereka. Mendengar suara itu, semakin cepat langkahku untuk melewati tangga tersebut hingga aku tak sadar telah menabrak seseorang saat menuruni tangga karena berjalan sambil menunduk. Buk!
“Ah, sorry gue gak sengaja,” kataku tersentak.
“Hmm, ya, gapapa kok,” jawab seseorang yang aku tabrak tadi. Sambil mendongak melihat siapa yang aku tabrak dia sudah lebih dulu melihatku.
“Eh Nadya, gue kira siapa,” katanya spontan.
“Hehe iya, maaf ya, Raf,” jawabku. Yang aku tabrak tadi ternyata Rafiqi anak kelas 12 IPA B, berbeda kelas denganku yang ada di 12 IPA A. Meskipun kita beda kelas, namun kita saling mengenal karena kita pernah satu organisasi saat kelas 11 dulu.
“Gapapa kok, Nad. Eh lo mau pulang? Sama siapa?” Katanya lagi.
“Yaa, kayak biasa. Sendiri naik angkot,” jawabku.
“Bareng gue yuk, kebetulan gue mau ke toko musik dan tokonya searah sama rumah lo,” katanya santai.
“Wah, gapapa nih?” Tanyaku meyakinkan.
“Iyaa. Oh ya, gue juga sekalian mau cerita nih sama lo. Gapapa ya duduk-duduk dulu?  Lo gak sibuk kan?” Tanyanya balik.
“Oh gitu, boleh deh. Mau cerita dimana?” Kataku menanggapi.
“Depan perpus gimana?” Tanyanya meminta persetujuan.
“Boleh,” jawabku langsung.
ξ

“Jadi, lo mau cerita apa, Raf?” Tanyaku memulai percakapan. “Gue putus, Nad, sama Mody,” kata Rafiqi datar.
“Serius? Kok bisa?” Tanyaku penasaran.
“Iya, seminggu yang lalu. Awalnya gue emang minta break sama dia soalnya gue lagi bingung banget gak tau harus gimana sama hubungan gue ini. tapi ternyata dia gak mau, katanya kalau break sama aja gue gantungin dia dan dia gak mau kalau sampe begitu. Makanya dia minta putus dan gue gak bisa apa-apa lagi. Itu keputusan dia, Nad. Tapi jujur, gue masih sayang banget sama Mody. Lo tau kan, Nad?” jelasnya.
“Kalau boleh tau, emang kalian ada masalah apa, sih, sampe lo minta break gitu?” Tanyaku penasaran.
“Nyokap gue gak suka sama sifatnya Mody yang sering marah-marah gak jelas sama gue. Katanya Mody gak pantes buat gue, dia terlalu kekanak-kanakkan. Nah, makanya gue minta break karena gue butuh waktu buat bujuk nyokap gue supaya bisa nerima Mody. Tapi, ya, dia malah minta putus. Terus sekarang gue harus gimana dong, Nad? Lo punya solusi, gak?” katanya dengan nada suara pasrah.
“Ya ampun, masalah lo kenapa ribet banget, sih, Raf, gue juga bingung mau bantuin lo gimana,” kataku terus terang.
“Yah, ayo, dong, Nad. Lo kan biasanya ngerti kalau masalah cinta begini,” kata Rafiqi membujukku.
“Raf, masalah lo itu ada sama nyokap lo. Dan, menurut pengetahuan gue, sih, kalau udah sampe nyokap ikut campur bakalan susah karena mereka tuh keras, Raf. Susah buat dibujuk. Biasanya kalau masalah jodoh buat anaknya, ibu-ibu emang ribet dan harus sesuai sama kemauan dia. Nyokap gue juga gitu, kok,” kataku.
 “Terus gue harus gimana, dong?” Tanya Rafiqi.
“Hmm, gini aja, kan sekarang lo juga udah putus sama Mody. Kalau menurut gue mending kalian sama-sama tenangin diri masing-masing dulu, deh. Saling introspeksi kesalahan kalian waktu masih pacaran kemarin. Gue percaya, kok, kalau jodoh kalian bakal balikan lagi,” kataku berusaha memberi solusi yang tepat.
“Ya udah biar nanti gue pikirin lagi baiknya gimana. Thanks, lho, Nad,” jawab Rafiqi.
“Santai aja kalau sama gue,” kataku sambil tertawa untuk mencairkan suasana.
“Ngomong-ngomong, hubungan lo sama Angga gimana?” Tanya Rafiqi kemudian. Angga adalah mantan pacarku. Dia satu tahun di atasku dan sekarang sudah kuliah di salah satu perguruan tinggi di Jakarta. Kami pacaran cukup lama, satu tahun lebih kira-kira. Hampir satu sekolah tahu mengenai hubunganku dengan Angga karena dulu dia juga bersekolah di tempatku.
“Angga???” kataku hampir berteriak.
“Iya, eh, masih kan? Kok lo kayak histeris gitu gue nanya Angga?” Tanya Rafiqi lagi.
“Nggak. Nggak apa-apa…” jawabku ragu. Lalu, “…Gue udah putus, Raf, ya sekitar lima bulan yang lalu. Lo emang gak tau?” kataku menjelaskan.
“Putus? Enggak, tuh. Gue baru tau ini malah. Gantian cerita, dong. Kan tadi gue udah cerita,” kata Rafiqi.
“Hm, boleh. Sebenernya ini cuma masalah biasa, tapi ya, lo tau lah dia gimana, Raf. Jujur, sih, gue capek banget sama sifatnya dia yang gak sesuai banget sama umurnya sekarang. Dan yang paling gue gak bisa terima, sih, dia gak nganggep gue dan sama sekali gak bisa hargain gue sebagai pacarnya dia. Dari pada nantinya gue sendiri yang kesiksa, jadi gue lebih milih mundur dan lepasin dia,” jelasku lengkap.
“Dia masih suka ngambil keputusan seenaknya, Nad?” Tanyanya.
“Yah, begitulah,” jawabku.
“Berarti lo putus udah lumayan lama, ya? Kenapa gue baru tau, sih,?” katanya lebih kepada dirinya sendiri.
“Lo terlalu sibuk mikirin Mody, sih.” Candaku.
“Hahaha, bisa aja lo,”
“Eh, mau pulang sekarang gak? Udah lumayan lama ya kita disini,” kata Rafiqi mengajakku untuk segera pulang.
“Oh, iya. Sampe lupa waktu gini,” kataku.
“Keasikan ngobrol sama gue, kan? Pesona gue emang gak ada yang nandingin, sih,” katanya dengan gaya tengilnya.
“Ngomong sama sepatu gue, nih,” kataku mengalihkan pembicaraan.
“Yee, masa udah ganteng gini suruh ngomong sama sepatu. Udah yuk pulang, nanti nyokap lo nyariin,” ajaknya.
ξ
Semenjak hari itu, aku jadi semakin akrab dengan Rafiqi. Sudah hampir seminggu sejak aku diantar pulang dengannya dan hubungan kita semakin dekat seiring komunikasi semakin berlanjut setiap malam. Ya, hampir setiap hari dalam seminggu ini aku selalu bertukar pesan melalui ponsel dengan Rafiqi. Entah ini hanya kebetulan atau tidak, tetapi aku mulai terbiasa dan mencoba menikmatinya. Hingga akhirnya teman kelasku mulai menanyakan tentang kedekatanku dengan Rafiqi akhir-akhir ini.
“Nad, kayaknya gue perhatiin akhir-akhir ini lo lagi deket, ya, sama Rafiqi anak IPA B?” tanya Dinda, salah satu teman kelasku yang merupakan teman yang sebangku denganku di kelas.
“Biasa aja, kok. Gue kan emang lumayan deket sama dia semenjak ikut OSIS waktu kelas 11 dulu. Tau, kan?” kataku santai.
“Tapi kok sekarang kayaknya makin deket, deh. Hayo ngaku, gue tau kalian juga sering pulang bareng, kan?” tanya Dinda lagi penuh selidik.
“Pulang bareng wajar, dong, Din. Namanya juga temen. Udah deh jangan mulai sok bikin gosip yang ngada-ngada,” kataku menanggapi.
“Jadi ceritanya udah move on, nih, dari Kak Angga? Bagus, Nad. Gue dukung lo seratus persen dari pada lo galau mulu, kan? Eh lagipula, yang gue denger Rafiqi juga baru putus kan sama Mody? Ada kesempatan, tuh, Nad.” kata Dinda lagi semakin menggodaku.
“Dinda apaan, sih. Siapa yang galau, coba? Plis, deh, jangan sok tau. Ya iya, sih, dia baru putus tapi bukan berarti gue bebas deketin dia, kan? Lagipula, gue gak suka sama dia, Din.”
“Jangan bilang gak suka dulu. Siapa tau nanti jadi suka? Gak ada yang tau, kan? Hati-hati, lho, sama ucapan sendiri,” Dinda semakin gencar menggodaku.
“Dinda, ih. Terserah, deh, lo mau bilang apa. Gue mau ke kantin, lo mau ikut, gak?” kataku mencoba mengakhiri pembicaraan dengan Dinda.
“Enggak, ah. Gue masih kenyang,” jawab Dinda akhirnya.
ξ
“Nad, besok nonton, yuk. Lo gak ada acara, kan? Gue yang bayarin, deh.” Kata Rafiqi di motor saat ia mengantarku pulang dari sekolah.
“Kayaknya gue males, deh, mau santai aja di rumah. Mau nonton apa? Emang lagi ada film bagus?” kataku bertanya balik.
“Hmm, film komedi gitu, sih. Tapi ada unsur cintanya. Gimana? Ayo, dong temenin gue. Atau lo gak suka, ya?”
“Gimana, ya? Bukannya gak suka, sih… tapi, boleh, deh, yuk,” kataku akhirnya.
“Nah, gitu, dong. Besok gue jemput di rumah lo, ya. Jam berapa,nih, kira-kira?” Tanya Rafiqi memastikan.
“Sore aja, sekitar habis ashar. Gimana?” Kataku menawarkan.
“Ok, siap. Dandan yang cantik, ya. Hahaha,” canda Rafiqi sambil tertawa.
“Setiap hari juga gue udah cantik. Masa lo gak nyadar, sih,” jawabku menanggapi dan diakhiri dengan suara tertawa kita berdua.
ξ

“Nadyaaaa!! Cepet cerita sama gue. Gak mau tau pokoknya lo harus cerita sekarang juga!” teriak Dinda saat aku baru saja datang ke sekolah dan masuk ke dalam kelas.
“Apaan sih, Din? Berisik tau pagi-pagi! Cerita apa??” tanyaku bingung.
“Kemarin lo jalan berdua, kan, sama Rafiqi? Hayo ngakuu..” tanya Dinda penuh selidik saat aku baru saja duduk di sebelahnya.
“Ssstt.. berisik! Untung kelas masih sepi. Eh, tapi lo tau dari mana?” aku bertanya balik tanpa menjawab pertanyaan Dinda.
“Aduuh, plis deh, Nad. Kan ada sosial media. Kemarin Rafiqi update di Path tentang nonton gitu dan dia nulis with Nadya. Gitu. Makanya download aplikasinya, dong. Lagipula, emang dia gak bilang kalau dia update gitu?” Kata Dinda mencoba menjelaskan.
“Oh, gitu. Males ah download, gak penting. Hmm, seinget gue dia gak bilang apa-apa, kok. Tapi kemarin dia mainin hp gitu, sih. Ah! Kalau Mody liat gimana, nih? Duh, gue baru inget! Gimana, dong? Dia punya Path gak, Din?” kataku sedikit panik.
“Punya kayaknya. Ya udah, sih, mereka juga udah putus kan udah gak ada hubungan apa-apa lagi jadi gak masalah, dong, kalau Rafiqi mau jalan sama siapa aja? Iya, kan? Udah, gak usah panik dia gak ada hak apa-apa buat macem-macem kali, Nad. Ohya, ayo cerita gimana lo bisa jalan sama dia.” Jawab Dinda sedikit menenangkanku dan tetap berusaha memaksaku untuk bercerita.
“Iya juga, sih. Ah elo tetep aja keponya gak ilang-ilang. Ya biasa, waktu hari Sabtu kemarin gue ke sekolah buat ngasih laporan sama absen ekskul ke Pak Dani. Nah, kebetulan pas gue mau pulang ketemu sama si Rafiqi baru selesai taekwondo terus dia ngajakin bareng. Pas di jalan dia langsung ngajakin gue nonton gitu, jadi ya udah gue mau aja,” kataku menjelaskan.
“Terus, terus, kalian ngapain aja? Nonton doang?” tanya Dinda masih penasaran.
“Yaa, iya. Emang mau ngapain lagi? Lagipula kita juga perginya udah sore jadi gak bisa lama-lama, takut kemaleman.” Jawabku.
“Tapii, kalian belum jadian, kan?” tanya Dinda lagi setengah berbisik.
“Ya enggaklah. Sembarangan aja, deh. Udah ya stop jangan nanya-nanya lagi. Gue serasa lagi diintrogasi sama lo, tau gak?” Kataku mulai kesal.
“Iya, deh, iyaa.” Kata Dinda akhirnya.
ξ
Beberapa minggu kemudian..
     Hari ini Rafiqi memintaku menunggu di dekat taman setelah bel pulang berbunyi. Aku tak tahu apa maksudnya menyuruhku untuk menunggunya. Tetapi yang jelas, sudah hampir sepuluh menit aku menunggu di taman dan ia belum juga datang. Memang, beberapa minggu terakhir ini kedekatanku dengannya semakin melebihi dari kata seorang teman. Mungkin bisa lebih dari sahabat, entahlah. Aku tak ingin berharap lebih, bukan karena takut. Tetapi aku lebih percaya pada kenyataan dari pada harapan yang masih samar-samar.
     “Hei, maaf, ya jadi nunggu lama tadi habis nyelesain tugas dulu buat besok,” Rafiqi langsung meminta maaf kepadaku saat baru saja menghampiriku.
     “Oh, iya gak apa-apa, kok, Fiq,” jawabku. Ya, memang semenjak kita semakin dekat, aku memanggilnya Fiqi. Itupun dia yang meminta, supaya lebih akrab, katanya.
     “Jadi, gue minta lo buat nunggu gue di sini karena gue mau ngomong sesuatu sama lo, Nad,” kata Rafiqi memulai pembicaraan.
     “Hmm, ya udah ngomong aja. Kayaknya penting banget, ya? Keliatannya lo serius gitu, sih,” kataku. “Ya, begitulah. Ini masalah hati, Nad,” kata Rafiqi membuatku bingung apa yang ingin ia bicarakan.
     “Masalah hati? Maksudnya?” Tanyaku penasaran.
     “Hmm, gue langsung aja, ya. Gini, jujur, lo tau kan akhir-akhir ini kita semakin deket? Ternyata kedekatan kita bikin gue suka sama lo, Nad. Maaf banget sebelumnya kalau mendadak gini. Karena ada lo gue jadi lupa masalah gue sama Mody waktu itu dan sekarang gue mulai sayang sama lo. Gue juga gak ngerti, gue gak tau kenapa bisa jadi begini. Tapi gue jujur itu yang gue rasain, gue jatuh cinta sama lo, Nad. Hmm, lo mau gak jadi pacar gue?” kata Rafiqi mengungkapkan perasaannya dan membuatku tak bisa berkata apa-apa.
     “Fiq, tapi…”
     “Gue gak tau harus gimana cara ngungkapinnya. Gue gak tau gimana cara yang romantis yang biasa ada di ftv. Gue gak tau, Nad. Tapi yang gue tau, gue sayang sama lo dan gue tulus ngomong gini ke lo. Terserah lo mau anggap gue gimana, yang penting gue udah jujur dan gak ada yang gue tutupin lagi sama lo. Jadi gimana?” kata Rafiqi lagi tanpa menghiraukan ucapanku tadi.
     “Tapi Mody gimana, Fiq?” tanyaku masih ragu.
     “Nadya, Mody itu masa lalu gue. Gue udah gak ada perasaan apa-apa lagi sama dia. Dan sekarang cuma lo yang gue sayang, Nad,” kata Rafiqi penuh pengharapan.
     “Fiq, kalau gue boleh jujur, sebenernya gue sama kayak lo. Gue juga suka sama lo. Gue juga tau, kok, kalau lo tulus sama gue,” kataku setelah menyusun kata-kata yang tepat dan kurang berhasil.
     “Jadi gimana, Nad? Lo terima gue, kan?” tanya Rafiqi memastikan.
     “Iya, tapi lo janji, ya, jangan bikin gue nyesel nerima lo,” kataku lagi memberi jawaban.
     “Siap Tuan Putri,” jawab Rafiqi sambil bergaya seperti prajurit hormat kepada atasannya dan berhasil membuatku tertawa.
     Akhirnya aku dan Rafiqi resmi menjadi sepasang kekasih. Keraguanku tentang perasaannya waktu awal tadi menguap begitu saja saat aku menatap matanya yang terlihat begitu berbinar dan penuh pengharapan serta ketulusan saat menunggu aku menjawab.
ξ

     “Lo yakin sama perasaan lo ke Rafiqi? Secepet itu, Nad?” Tanya Dinda dengan raut wajah serius saat tahu aku telah jadian dengan Rafiqi.
     “Kok nanyanya gitu sih, Din?” Masih tak percaya dengan pertanyaan yang diucapkan Dinda barusan. Tak  biasanya Dinda seperti itu, ia tak pernah meragukan apapun keputusanku. Tapi kali ini ia berbeda.
     “Nggak, gue cuma mau mastiin aja. Gue gak mau lo nyesel nantinya.” Dinda masih terus dengan raut wajah seriusnya. Lalu, “Apa Rafiqi beneran serius sama lo? Sorry, bukan maksud gue mau ikut campur. Tapi lo tau kan hubungan Rafiqi sama Mody dulu salah satu pasangan paling populer di sekolah? Semua orang tau kalau mereka bahagia. Sangat bahagia, bahkan.”
     “Tapi...”
     “Gue belum selesai, jangan dipotong dulu. Ya, gue tau mereka udah putus. Tapi bukan gak mungkin kalau Rafiqi masih sayang sama Mody. Mereka pacaran cukup lama dan waktu beberapa minggu mungkin belum cukup buat ngilangin rasa sayangnya Rafiqi ke Mody. Gue gak mau lo cuma jadi korban, Nad.” Dinda berceloteh panjang-lebar dan sukses membuatku berpikir tentang omongannya barusan. Ya, Dinda benar. Tapi..
     “Lo ngomong apa sih, Din? Gak usah khawatir, gue udah nanya sebelumnya sama dia sebelum gue terima dia. Gue udah nanya tentang dia sama Mody, dan dia udah yakinin gue kalau mereka udah gak ada apa-apa lagi. Mereka cuma masa lalu. Cerita masa lalu, gak lebih.” Aku masih mencoba membela diri. “Eh, bukannya biasanya lo yang paling berisik godain gue sama Rafiqi? Kok lo tiba-tiba berubah gini, sih?” Tambahku heran.
     “Ya, nggak apa-apa, sih. Gue sebagai sahabat lo cuma mau yang terbaik aja buat lo. Lagian ya, gue juga gak mau tuh liat lo galau-galau lagi cuma karena masalah cinta,” jawab Dinda tenang. “Tapi, tetep aja gue merasa ada yang aneh sama Rafiqi, Nad. Nggak tau, sih, jelasnya gimana. Tapi yang pasti gue ngasih tau lo aja biar hati-hati, dan jangan terlalu pake perasaan dulu sama dia. Takutnya lo cuma dijadiin pelampiasannya doang. Terserah mau percaya atau nggak, tapi biasanya feeling gue bener, lho.”
     “Ya ampun, gue gak nyangka kalau lo lama-lama lebih cerewet dari nyokap gue, Din. Tapi makasih ya nasihatnya. Gue pasti selalu hati-hati, kok. Emang cuma lo sahabat yang paling ngerti gue. I love you, Dindaaaa.” Kataku sambil memeluk Dinda.
     “Aduh, Nadyaaaa. Jangan keras-keras meluknya, badan gue sakit tau.” Balasnya sambil berusaha melepaskan pelukanku kepadanya. “Huh! Selama ini lo kemana aja baru sadar kalau emang cuma gue yang paling ngertiin lo, hah? Makanya lo juga harus ngertiin gue juga, dong.” Tambahnya.
     “Ngertiin apa dulu, nih? Ngertiin kalau lo udah lama ngejomblo terus minta cariin pacar, gitu? Hayooo ngaku aja deh. Mau yang kayak gimana, sih, Din? Kalau lo nyari yang kayak Daniel Radclift ya gak bakal dapet. Kecuali lo kembarannya Emma Watson. Hahaha,” kataku menggodanya.
     “Nadya! Wuu, tau deh yang baru jadian. Kalau nanti gue udah jadian sama Zayn Malik baru gigit jari lo. Gak akan bisa ngatain gue lagi,” balasnya tak mau kalah.
     “Hahaha iya, Din. Iya. Terserah lo banget. Oh iya, gue lupa mau ke ruang guru ngasih tugas yang tadi suruh dikumpulin sama Bu Laras. Mau ikut gak?” Kataku kemudian.
     “Hmm, nggak, deh. Lo sendiri aja, ya. Lagi males banget keluar,” jawabnya.
     “Yee, keluar aja males, gimana mau dapet jodoh, sih, Dinda. Yaudah gue ke sana dulu.” Kataku akhirnya.
     “Nadya, ih! Gak usah bahas jodoh mulu deh, mentang-mentang gue jomblo. Udah sana pergi lo yang jauh,” katanya sambil melempar gulungan kertas ke arahku. Akupun hanya tertawa melihat tingkahnya.
ξ

     Bulan demi bulan telah kulewati bersama Rafiqi. Awalnya hubungan kita baik-baik saja bahkan sangat baik. Namun, belakangan ini aku merasa ada yang berbeda darinya dan aku tak tahu apa. Di sekolah setiap aku berpapasan dengannya ia selalu menghindar tanpa alasan yang jelas. Pesankupun jarang sekali dibalas olehnya. Aku sangat khawatir dengannya. Ingin sekali aku mengetahui apa yang terjadi kepadanya, tapi ia tak pernah memberiku kesempatan untuk bertanya kepadanya.
     “Din, Rafiqi kok sekarang cuek banget sama gue, ya?” Tanyaku kepada Dinda saat di kantin.
     “Tuh, kan. Lo gak percaya omongan gue waktu itu, sih. Harusnya waktu itu lo pertimbangin dulu sebelum lo terima. Mending lo temuin dia aja, gih, kayaknya tadi dia ada di kelasnya,” jawab Dinda.
     “Justru itu, akhir-akhir ini dia menghindar melulu kalau ketemu gue. Dia kenapa,ya?” Balasku lagi.
     “Hah serius? Dia menghindar dari lo? Wah, kayaknya ini masalah serius deh, Nad. Jangan-jangan si Mody deket lagi kali sama cowok lo. Ajak ketemu deh, tus omongin baik-baik lo tanya dia kenapa. Kalau dia gak mau, biar gue yang maksa dia,” kata Dinda memberi solusi.
     “Lo jangan bikin gue galau, dong. Nanti deh pulang sekolah gue ketemu dia. Lo bantuin gue, ya,” kataku lagi.
     “Hmm iya, iya.”
ξ
     “Fiqi, tunggu! Aku mau ngomong dulu sebentar. Please..” Aku langsung memanggil Rafiqi ketika melihatnya keluar dari kelas.
     “Ada apa lagi, sih, Nad? Aku mau buru-buru pulang. Capek.” Jawab Rafiqi cuek.
     “Sebentar aja, kita harus ngomong. Aku gak bisa ngeliat kamu cuek terus gitu sama aku. Kita ke kantin sebentar, ya?” Kataku sambil menggandeng tangan Rafiqi menuju kantin.
     “Sekarang kita udah di kantin. Terus kamu mau ngomong apa?” Kata Rafiqi tak sabar.
     “Kamu kenapa sih sama aku? Kenapa akhir-akhir ini kamu selalu menghindar dari aku? Aku salah apa sama kamu, Fiq?” Tanyaku kemudian.
     “Kamu ngomong apaan, sih? Siapa yang menghindar, coba? Aku lagi banyak tugas aja akhir-akhir ini jadi gak sempet ketemu kamu,” jawab Rafiqi seadanya.
     “Tugas apa? Aku tanya temen sekelas kamu gak ada tugas apa-apa, kok. Aku kangen kamu yang dulu, Fiq.” Kataku yang semakin tak dapat menahan air mataku untuk terjatuh.
     “Oke kalau kamu mau tau. Aku udah gak bisa sama kamu lagi, Nad. Sorry. Aku masih sayang sama Mody dan maaf kalau aku gak bisa jadi apa yang kamu mau. Aku gak bisa bohongin perasaan aku lagi. Aku mau balikan sama Mody. Aku tau kamu pasti marah sama aku, tapi ini yang terbaik buat kita. Aku juga gak mau pura-pura sayang sama kamu dan kamu juga pasti gak mau kan dibohongin terus? Jadi, kita putus aja, ya. Lupain aja perasaan kamu sama aku selama ini,” kata Rafiqi jujur tanpa ada satu katapun yang tertinggal.
     “Fiqi, kamu pasti bercanda, kan? Kamu gak serius, kan?” Tanyaku memastikan apa yang aku dengar barusan itu salah.
     “Nggak, Nad. Aku serius. Kamu kan yang maksa aku buat jujur. Dan sekarang aku udah jujur sama kamu tanpa ada yang aku tutupin lagi. Maafin aku, Nadya. Kalau kamu gak mau kenal aku lagi, aku gak apa-apa. Aku cuma mau kamu bahagia tanpa aku. Silahkan benci aku semau kamu. Tapi, kamu harus terima semuanya, Nad. Kita harus dewasa jalanin ini.” jawab Rafiqi dengan tenang. “Yaudah, kalau gitu aku pulang dulu. Kasian Mody udah nunggu di luar. Hidup harus terus berjalan,Nad. Jangan tangisin aku lagi, aku gak pantes ditangisin. Kamu harus cari bahagia kamu sendiri dan itu bukan aku. Maafin aku Nadya. Terima kasih udah sayang sama aku beberapa bulan ini. Terima kasih udah nemenin aku juga. Aku pergi dulu..” kata Rafiqi sambil menggenggam tanganku untuk yang terakhir kali dan segera pergi meninggalkan aku sendiri di kantin dengan perasaan yang aku tak pernah rasakan sebelumnya.
     Entah aku harus bagaimana sepeninggal Rafiqi. Aku masih duduk dengan tatapan dan pikiran yang kosong. Air mata sudah tak membasahi pipiku, mungkin sudah tak ada yang tersisa. Hanya bayangan kata-kata Rafiqi yang masih memenuhi pikiranku. Kata-kata itu terus terngiang-ngiang di telingaku dan semakin membuatku sesak.
     “Nad? Lo gak apa-apa, kan? Rafiqi bilang apa aja tadi?” Dinda segera menghampiriku begitu melihat Rafiqi keluar dari kantin. Aku tak menjawab pertanyaan Dinda. “Nadya, lo gak apa-apa, kan? Nad?” Tanya Dinda lagi. masih tak ada jawaban dariku karena saat itu aku tak tau harus berkata apa kepada Dinda.
      “Nadyaa? Lo denger gue, kan? Lo baik-baik aja, kan? Nad, jawab, Nad,” Dinda terus berusaha membuatku sadar dan menjawab pertanyaannya. Akupun hanya mengangguk seolah baik-baik saja.
     “Gue baik,” hanya itu yang bisa aku katakan kepada Dinda. Akupun langsung beranjak pergi untuk pulang dan meninggalkan Dinda di kantin dengan sejumlah pertanyaan yang tak terjawab sama sekali.
ξ

     Semenjak kejadian itu, hubunganku dengan Rafiqi tak seperti dulu lagi. Kita seperti orang yang tak saling kenal. Setiap kali bertemu aku selalu berusaha tak menatapnya. Hatiku perlahan telah kembali seperti biasa. Aku telah melupakannya juga memaafkannya. Hanya saja aku tak bisa menganggapnya ‘seseorang’ lagi dimataku. Itu hanya bagian dari masa laluku yang membuatku semakin dewasa.
     Kini, aku telah bertemu seseorang yang mungkin adalah bahagiaku. Ia datang saat aku membutuhkannya. Saat aku membutuhkan seseorang untuk mengobati sakitku. Seseorang yang mengajariku menari di tengah hujan. Seseorang yang menemaniku menunggu datangnya pelangi, hingga akhirnya aku sadar bahwa pelangi itu adalah dirinya. Dia bernama Dikta. Aku tak ingin menyebutnya pacar, karena dia lebih dari itu. Dia adalah… jiwaku.
     Kabar bahagia lainnya datang dari Dinda. Ia sudah menemukan seseorang yang tahan dengan ocehannya sepanjang hari. Seseorang yang sangat mencintainya dengan tulus. Seseorang yang mengubahnya lebih dewasa dan tentu saja, mengubahnya menjadi lebih cantik. Hihihi..
     Setiap kita pasti pernah merasakan dinginnya hujan. Tak ada yang ingin terjatuh di dalamnya. Yang terpenting adalah bagaimana kita belajar untuk bangkit dan menari di tengahnya. Hidup terlalu singkat jika hanya dihabiskan dengan terpuruk di masa lalu. Tak ada yang dapat mengubah masa depan selain diri kita sendiri. Masa lalu tak akan pernah terlupakan, karena kenangan pasti akan pulang saat kita tak menginginkannya. Jadikanlah masa lalu sebagai pedoman untuk melangkah menuju masa depan. Kegagalan tak berarti kita tak pantas menang, tapi kegagalan adalah satu langkah awal untuk kita menang. Cheers! ^^

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PKM Long Journey (Part 2)

Satu Kata Cinta

Masjid dan Kamu (Part 1)