Masjid dan Kamu (Part 3)

In this part, you will understand how big the meaning of love. And this is the end of this story. So, happy reading guys! ^^
****

    Semenjak sore itu, pertama kalinya aku bertemu Kak Syafiq lagi setelah bertahun-tahun dia pergi, aku kembali dekat dengan dia. Kita sering chatting-an bareng, sms-an, sampai telponan hingga larut malam. Itu membuatku lebih merasa dekat dengan dia lebih dari waktu itu, waktu dia belum pergi ke Jerman. Setiap aku memikirkannya, dekat dengannya, aku merasa nyaman sekali.
    Hari ini hari sabtu, aku dan Kak Syafiq berencana untuk pergi ke kampus, atau lebih tepatnya ke masjid kampus tempat kita pertama kali bertemu dulu. Semalam kita janjian di depan masjid pukul sepuluh pagi. Tidak sabar rasanya datang ke sana apalagi bersama Kak Syafiq. Pukul setengah sepuluh pagi akupun pamitan dengan Mama dan Papa untuk pergi ke sana.
          "Ma, Pa, aku mau pergi, ya," kataku kepada Mama dan Papa yang sedang duduk di halaman belakang rumah.
          "Memangnya kamu mau kemana?" Tanya Mama.
          "Mau main ke kampus, Ma. Kangen nih udah lama gak ke sana. Boleh kan?" Jawabku.
          "Kangen sama kampusnya atau sama orang yang ada di kampusnya?" Ejek Papa.
          "Ih Papa apaan sih. Sama semuanya lah, Pa. Ya udah, ya, aku berangkat sekarang aja, kasihan temenku udah nungguin di sana," kataku kemudian.
          "Temen yang mana? Muti?" Tanya Mama dan Papa bersamaan.
          "Kompak banget Mama sama Papa ku tercinta ini, hehe. Bukan, tapi Kak Syafiq," kataku menjelaskan.
          "Syafiq yang katamu kuliah di Jerman itu? Memang dia sudah pulang?" Tanya Mama.
          "Udah, Ma. Seminggu yang lalu," jawabku.
          "Cinta lama bersemi kembali nih ceritanya?" Ejek Papa lagi.
          "Papaaaaa.. Udah ah, aku berangkat sekarang, ya. Assalamu'alaikum," kataku sambil bersalaman dengan Mama dan Papa. "Wa'alaikum salam, hati-hati di jalan," jawab Mama dan Papa bersamaan.
    Akupun langsung berangkat menuju kampus dengan motorku. Sepanjang jalan rasanya ingin cepat sampai kampus dan bertemu lagi dengan Kak Syafiq. Ah, rasa ini terlalu berlebihan mungkin. Mungkin Kak Syafiq menanggapinya biasa saja. Tapi aku tidak bisa. Bertahun-tahun aku mencoba untuk menjaga perasaan ini untuknya bahkan hingga sekarang.
          "Alhamdulillah, kamu datang juga. Seneng bisa liat kamu lagi," kata Kak Syafiq menyambutku yang baru tiba di masjid kampus.
          "Hehe iya kak.. Kakak udah lama nunggu, ya? Maaf ya kak, tadi di jalan agak macet, jadi lama deh sampai sininya," kataku kepada Kak Syafiq.
          "Ah, enggak kok. Sini yuk kita ngobrol," kata Kak Syafiq mengajakku duduk di bangku yang ada di pojok kanan masjid, akupun mengikutinya.
    Kami pun menghabiskan waktu untuk bercerita banyak hal yang sudah kami lewati selama Kak Syafiq berada di Jerman sambil menunggu waktu zuhur tiba. Saat sedang asyik bercerita, tiba-tiba ponselku berbunyi tanda ada panggilan masuk. Saat aku lihat di layar ponsel, ternyata Muti yang menelponku. 
          "Hallo, assalamu'alaikum. Ada apa, Mut?" Kataku menjawab telpon.
          "Wa'alaikum salam. Qil, nanti habis zuhur temenin gue, yuk, beli kado buat temen kantor gue yang mau ultah," kata Muti dari seberang telpon sana.
          "Yah, kayaknya gue gak bisa deh, Mut. Emang acaranya kapan?" Kataku.
          "Nanti malam. Yah, emang lo mau ngapain sih? Lo libur, kan?" Tanya Muti curiga.
          "Iya gue libur kok. Tapi gue lagi gak di rumah," kataku ragu.
          "Lo kemana, Qil? Sama siapa?" Tanya Muti dengan nada persis seperti ibu yang kehilangan anaknya.
          "Iiiih biasa kali nanyanya. Gue lagi di masjid kampus, sama Kak Syafiq, hehe. Sorry ya gue gak bilang sama lo," kataku sambil cengengesan.
          "Ya ampun, Aqilla! Jadi lo lagi jalan sama Kak Syafiq? Akhirnyaaa........." Kata Muti setengah berteriak membuatku refleks menjauhkan ponsel dari telingaku.
           "Muti! Bisa gak sih gak usah teriak? Masa gue harus ke THT sih gara-gara nerima telpon dari lo doang. Enggak, gue gak jalan kok. Gue cuma ngobrol-ngobrol aja di masjid, gak kemana-mana. Lagi pula gue bawa motor sendiri," kataku menjelaskan.
          "Hehe maaf, maaf. Oh gitu. Ya udah deh gue sendiri aja. Selamat bersenang-senang, ya, kalian. Sorry kalau gue ganggu waktu kalian, Assalamu'alaikum," kata Muti memutuskan sambungan telepon.
          "Hmm, iyaa. Lo hati-hati, ya. Sorry gue gak bisa nemenin hari ini. Wa'alaikum salam," jawabku.
    Hari itu, setelah sholat zuhur berjama'ah di masjid, aku dan Kak Syafiq pergi ke sebuah restoran cepat saji untuk makan siang bersama.
          "Aqilla, Kakak seneng deh hari ini bisa bareng-bareng sama kamu," kata Kak Syafiq membuka percakapan saat menunggu makanan datang.
          "Aku juga seneng kok, Kak," jawabku.
          "Qilla, kayaknya Kakak harus ngomong serius deh sama kamu," kata Kak Syafiq lagi.
          "Ngomong apa sih, Kak? Serius banget, ya, kayaknya?" Tanyaku bingung.
          "Tentang perasaan Kakak, perasaan kita masing-masing, Qil," kata Kak Syafiq dengan suara lembut.
          "Maksud Kakak?" Tanyaku ragu.
          "Kakak suka sama kamu. Kakak sayang, cinta sama kamu, Aqilla," kata Kak Syafiq lagi dengan nada yang lebih lembut.
          "Tapi, Kak...." Kataku dengan suara parau.
          "Kamu masih ragu sama perasaan kakak? Jujur, selama Kakak di Jerman, Kakak selalu kepikiran kamu terus. Gak ada perempuan lain di hati kakak kecuali kamu. Kakak tulus sama kamu, Qil," kata Kak Syafiq meyakinkanku.
          "Kak... Kalau aku boleh jujur, perasaan aku juga sama kayak Kakak. Aku sayang sama Kak Syafiq, aku tulus, Kak," jawabku lembut.
          "Kamu serius, kan?" Tanya Kak Syafiq.
          "Iya, aku serius.." Kataku sambil tersenyum semanis mungkin.
          "Kalau gitu, kita jadian, kan, Qil?" Tanya Kak Syafiq lagi.
          "Maybe. Terserah Kakak," kataku kepada Kak Syafiq.
          "Makasih, ya, Aqilla. Ohya, mulai sekarang jangan panggil Kakak lagi, ya. Panggil aja Syafiq, hehe" kata Kak Syafiq dengan wajah sumringah.
          "Iya, iya.." Jawabku singkat sambil tertawa.
    Tak lama kemudian, makanan yang dipesan akhirnya datang juga. Kami pun makan dengan perasaan berbunga-bunga. Aku sama sekali tak menyangka kalau aku bisa jadian dengan Kak Syafiq, orang yang selama ini aku tunggu kehadirannya. Setelah makan, sebelum meninggalkan restoran tersebut, aku dan Kak Syafiq masih ingin berbicara berdua, menghabiskan sore ini bersama-sama. 
          "Aqilla, aku seneng banget hari ini. Bareng-bareng sama kamu dan akhirnya aku bisa milikin kamu, meskipun baru sebatas pacaran," kata Kak Syafiq dengan senyum khasnya.
          "Aku juga seneng banget. Aku gak nyangka akan kayak gini jadinya," jawabku.
          "Qil, kita kan udah sama-sama dewasa. Aku boleh kan dikenalin sama orang tua kamu? Aku mau hubungan kita serius, bukan main-main lagi," kata Kak Syafiq dengan raut wajah serius.
          "Tentu boleh, dong. Nanti kita bicarain lagi, ya," kataku lembut.
          "Makasih, sayang. Aku janji aku akan mencintai kamu sampai aku gak bisa bernafas lagi dan Allah cabut nyawa aku. Aku sayang sama kamu," kata Kak Syafiq membuatku hampir meneteskan air mata.
          "Jangan ngomong gitu. Jodoh kan gak ada yang tau. Tapi, gimanapun, aku tetep sayang sama kamu. Apapun yang terjadi nanti, aku mau kita sama-sama terus. Aku gak mau jauh lagi dari kamu," jawabku dengan suara parau.
    Tanpa sadar, tetes demi tetes air mataku jatuh membasahi pelipis mataku setelah menyelesaikan kalimat terakhirku untuk Kak Syafiq tersebut. Aku menangis, menangis bahagia campur haru mendengar kata-kata Kak Syafiq tadi. Kata-kata yang gak pernah aku bayangkan sebelumnya keluar dari mulut Kak Syafiq. 
    Kami pun keluar dari restoran itu dan langsung menuju parkiran untuk mengambil motor dan pulang. Entah perasaan apa yang aku rasakan dan ini aneh. Perasaanku tiba-tiba saja tidak tenang. Aku masih ingin bersama Kak Syafiq, aku tidak ingin berpisah dengannya meskipun untuk pulang dan masih bisa bertemu esok. Aku tidak tahu ada apa, tapi ini yang aku rasakan.
          "Aqilla, kamu kenapa? Kamu baik-baik aja, kan?" Tanya Kak Syafiq yang menyadari wajahku yang mulai gelisah.
          "Aku gak mau pisah sama kamu," jawabku.
          "Iya, aku tau. Aku juga gak mau pisah sama kamu. Tapi ini kan udah sore, kita harus pulang. Besok kan masih bisa ketemu, nanti malam juga kita bisa telponan, kan?" Kata Kak Syafiq menenangkanku.
          "Hmm.. Iya.." Jawabku sambil mengangguk dengan nada datar.
          "Ya udah, yuk, ambil motor dulu," ajak Kak Syafiq sambil menggandeng tanganku dan aku mengikutinya.
    Ya Allah, perasaan macam apa ini? Kenapa aku jadi gelisah? Semoga tidak terjadi sesuatu yang buruk, ya Allah. Setelah mengambil motor, membayar parkir dan keluar dari parkiran, sebelum aku dan Kak Syafiq berpisah menuju rumah masing-masing, aku dan Kak Syafiq berhenti sebentar di pinggir jalan raya. 
          "Qilla, kamu hati-hati, ya. Jangan ngebut bawa motornya," kata Kak Syafiq.
          "Iya, kamu juga hati-hati, ya. Pelan-pelan," jawabku.
          "Iya Aqilla sayang. Ya udah, yuk. Ohya, I love you till the end, Qil. Aku sayang kamu," kata Kak Syafiq sebelum melajukan motornya. 
          "I love you till the end, too. Aku juga sayang kamu," jawabku dengan perasaan tambah gelisah.
          "Aku jalan dulu. Assalamu'alaikum.." Kata Kak Syafiq lagi dan segera melajukan motornya menuju jalan untuk pulang. "Wa'alaikum salam.." jawabku dengan perasaan yang bertambah gelisah.
    Aku pun langsung mengendarai motorku untuk pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, aku langsung mandi dan segera menunaikan sholat ashar. Sambil menunggu magrib dan melupakan perasaan gelisahku tadi, aku menyalakan laptop untuk membuka blog pribadiku yang sudah lama tidak kubuka. Saat itu ponselku berdering tanda panggilan masuk. Nomor tak dikenal saat aku melihat layarnya.
          "Hallo? Assalamu'alaikum. Maaf ini siapa, ya?" Kataku memulai percakapan.
          "Tante gak bohong kan? Gak mungkin! Ini gak mungkin," kataku lagi sambil terisak dan membuat ponselku jatuh ke lantai. 
          "Pa, anterin aku ke rumah sakit sekarang. Please, Pa," kataku kepada Papa.
          "Siapa yang sakit?" Tanya Papa bingung.
****

          "Aqilla, shalat magrib dulu, yuk. Biar hati kamu tenang," kata seseorang menyadarkanku dari lamunanku di lorong rumah sakit.
    Setelah selesai shalat magrib, aku berdo'a dengan hati berharap, sangat berharap kepada Allah agar tidak terjadi sesuatu yang buruk. Tadi, yang menelponku adalah mamanya Kak Syafiq. Kak Syafiq kecelakaan waktu mau pulang ke rumah tadi dan sekarang sedang kritis di UGD dengan ditangani dokter. Sejak sejam yang lalu, dokter belum juga keluar dari ruangan itu. 
    Ditemani Muti, Mama, Papa, dan mamanya Kak Syafiq, aku yang masih terisak tangis menunggu di depan pintu UGD sambil terus berdo'a dan berharap agar ada keajaiban yang diberikan Allah untuk Kak Syafiq. Dokter pun kemudian keluar dan langsung aku hampiri untuk menanyakan kabar Kak Syafiq.
          "Dok, semuanya baik-baik aja, kan? Gak ada yang parah, kan, Dok?" Tanyaku histeris sambil terus terisak.
          "Aqilla, tenang dulu. Biar dokter jelasin semuanya," kata Mama menenangkanku.
          "Begini, saya sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi Allah berkata lain. Maaf, saat ini Syafiq sudah......" Kata dokter menjelaskan dan terpotong dengan tangisan semua orang yang ada di situ.
          "Dokter bohong! Kak Syafiq masih hidup! Kak Syafiq belum meninggal!" Teriakku membantah penjelasan dokter.
    Muti yang dari tadi memelukku ikut menangis mendengar penjelasan dokter. Dia terus menenangkanku, begitu juga Mama, Papa dan tidak ketinggalan mamanya Kak Syafiq.
****

    Kini, aku dan Muti sedang berada di masjid kampus. Aku sengaja mengajak Muti ke sini untuk mengenang pertemuanku dengan Kak Syafiq beberapa tahun lalu. Dua bulan semenjak kepergian Kak Syafiq, aku sudah bisa mengikhlaskan kepergiannya. Aku yakin, Allah punya rencana yang lebih baik untukku juga untuk Kak Syafiq. Hidupku harus terus berjalan, dan tentunya dengan cerita yang baru, tanpa Kak Syafiq.
    Sebulan lagi, aku akan dinikahkan dengan seorang laki-laki yang dita'arufkan denganku sejak seminggu yang lalu. Laki-laki itu yang akan menjadi imamku kelak. Namanya Fariz. Dia anak teman Papaku. Menurutku, dia tidak kalah baik dengan Kak Syafiq dan tidak kalah cerdas juga. Dia lulusan S2 dari Al-Azhar, Kairo, Mesir. Dia juga sudah tahu ceritaku dan Kak Syafiq, dan dia bisa menerimanya. Tetapi, bagaimanapun, Kak Syafiq dan Fariz adalah sosok yang berbeda. Mereka mengisi hatiku dalam konteks yang berbeda. Kak Syafiq akan terus hidup di hatiku sebagai sosok yang akan selalu ku kenang. 

Meskipun kita berbeda, 
meskipun kita tidak ditakdirkan bersama
Kau akan tetap hidup di hatiku
Dengan segenap cintamu yang pernah kau berikan untukku
Sebagai sosok yang selalu ku kenang
Sepanjang hidupku

~The End~

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PKM Long Journey (Part 2)

Satu Kata Cinta

Masjid dan Kamu (Part 1)