Pemberi Harapan Palsu (PHP)



             Lidya, salah seorang siswi di sebuah Sekolah Menengah Atas di kawasan Jakarta Barat sedang menunggu temannya datang untuk menjemputnya sekolah pagi ini. Sudah hampir lima menit menunggu, akhirnya Lala, teman yang ditunggunya itu datang juga. Mereka sahabat dekat sejak dari SD dulu. Lidya sudah menganggap Lala seperti saudara kandungnya sendiri, begitupun sebaliknya. Mereka mempunyai sifat yang berbeda. Lala dengan sifat lembutnya terlihat feminim, ia juga termasuk siswi yang cerdas di sekolah. Lala mempunyai wajah yang manis dan cantik, tidak heran dia bisa berpacaran dengan seorang laki-laki yang cukup terkenal di sekolah. Lidya tidak kalah dengan Lala, walaupun tidak selembut Lala, Lidya juga cukup cerdas. Ia juga ramah. Tetapi kalau masalah cinta, ia kalah dengan Lala, Lidya masih asyik dengan status jomblonya.
            “Udah lama nunggu, ya? Sorry tadi bensinnya habis jadi ngisi bensin dulu deh,” kata Lala.
            “Ya udah berangkat sekarang yuk, nanti telat,” jawab Lidya.
            Merekapun segera berangkat ke sekolah karena takut telat. Lala yang mengendarai motor tetap berhati-hati karena jalanan yang agak licin bekas hujan semalam masih belum kering. Sesampainya di sekolah, mereka lega karena gerbang sekolah belum ditutup. Merekapun langsung masuk ke dalam kelas setelah memarkirkan motor Lala. Empat jam setelah bel masuk sekolah berbunyi, akhirnya bel istirahat yang ditunggu semua siswa terdengar juga.
            “La, ke kantin, yuk? Gue laper nih,” kata Lidya mengajak Lala ke kantin.
            “Lo sama yang lain aja deh, gue lagi males ke kantin. Lagipula gue juga bawa makan nih,” jawab Lala.
            “Yah, ya udah deh. Lo gak mau nitip apa-apa gitu?” Tanya Lidya.
            “Enggak deh, makasih,” jawab Lala singkat.
            Akhirnya Lidya ke kantin dengan Fia, temen sekelas mereka juga. Di kantin mereka bertemu dengan Alif—pacarnya Lala, dan tentu saja dengan Irfan—cowok yang lagi dekat dengan Lidya. Alif dan Irfan kakak kelas Lala dan Lidya, mereka sama dengan Lidya dan Lala yang sangat dekat. Lidya dikenalkan dengan Irfan oleh Alif dan tentu saja Lala.
            “Lid, liat tuh ada siapa,” kata Fia sambil mengajukan dagu ke arah Irfan dan Alif yang sedang duduk.
            “Ya ampun, ketemu juga akhirnya. Udah yuk, gue malu nih kalau kelamaan di sini,” kata Lidya yang mukanya hampi memerah.
            “Yeee, gimana sih. Ya udah, yuk, ke kelas,” kata Fia sambil berjalan menuju kelas.
            “Lalaaaaa, lo tau gak gue ketemu siapa di kantin?” Teriak Lidya saat masuk ke dalam kelas.
            “Siapa sih? Kak Irfan?” Tanya Lala datar sambil terus mengunyah makanan di mulutnya.
            “Iyalah, siapa lagi,” sahut Fia tiba-tiba.
            “Iya, tadi juga ada Kak Alif tuh. Lo lagi marahan sama dia, La?” Kata Lidya.
            “Enggak. Emang kenapa?” Balas Lala.
“Oh, kirain. Habisnya lo dari tadi kayaknya cuek banget,” kata Lidya lagi.
“Mulai deh berpendapat sendiri. Gue gak kenapa-napa kok sama Alif,” jawab Lala.
“La, semalem gue sms-an lagi lho sama Kak Irfan,” kata Lidya mulai bercerita.
“Sms-an apa aja? Siapa duluan yang sms?” Tanya Lala menanggapi.
“Ya gitu deh. Gue duluan sih..” Jawab Lidya cengengesan.
“Yah, gue kira dia duluan,” balas Lala.
“Kalau nungguin dia yang sms duluan, sampe jam 2 malam juga gak mungkin,” kata Lidya
“Hahaha ada-ada aja. Beda ya kalau orang lagi jatuh cinta,” balas Lala lagi sambil terus makan.
Seperti biasa, setiap pulang sekolah Lidya dan Lala tidak langsung pulang. Bukan hanya menunggu motor yang belum bisa keluar dari parkiran, tapi juga karena Lala yang ingin berduaan dulu dengan Alif. Lidya biasanya bergabung dengan teman yang lain yang belum pulang juga, tapi hari ini dia mau ada urusan sama Alif. Jadi akhirnya dia bergabung dengan Lala dan Alif yang sedang duduk berduaan.
“Kak, mau tanya dong,” kata Lidya kepada Alif.
“Tanya apa sih, Lid? Tentang Irfan?” Balas Alif.
“Hehe, tau aja. Dia cerita gak kalau gue sms dia?” Kata Lidya lagi.
“Enggak, tuh. Emang lo sms apaan ke dia?” Tanya Alif.
“Kepo,” kata Lidya singkat.
“Biarin aja, orang lagi jatuh cinta mah beda,” kata Lala tiba-tiba.
“Hahaha, bisa aja kamu. Emang kamu kalau jatuh cinta gitu juga?” Balas Alif.
“Kok aku sih? Kan lagi bahas Lidya sama Kak Irfan,” kata Lala lagi.
“Bisa aja alasannya,” balas Alif tak mau kalah.
Setelah Lidya puas bertanya tentang Irfan kepada Alif dan Lalapun sudah puas berduaan dengan Alif, mereka pun pulang. Tiga hari lagi ulang tahun Irfan yang ke 17. Lidya bermaksud untuk memberikan kado sebagai kenang-kenangan saat Irfan lulus nanti. Ia pun mengajak Lala untuk menemaninya membeli kado untuk Irfan besok sepulang sekolah.
Hari ini setelah memutuskan kado apa yang akan dibeli, Lidya dan Lala langsung berangkat ke tempat ia akan membeli kado untuk Irfan. Lidya memutuskan untuk membelikan Irfan sebuah jaket bola team kesukaan Irfan. Lala yang hanya menemani Lidya setuju saja dengan rencana sahabatnya itu.
“Lid, lo yakin mau ngasih kado ke Kak Irfan? Apa gak terlalu berlebihan?” Tanya Lala kemudian.
“Yakin kok. Biarin aja, gue kan cuma mau ngasih kenang-kenangan buat dia sebelum dia lulus,” jawab Lidya semangat.
Lala sebenarnya tahu betul bagaimana sifat Irfan terhadap seorang cewek dari cerita-cerita Alif tentang Irfan tersebut. Tapi, melihat sahabatnya begitu bersemangat ia tidak ingin merusak kebahagiaan sahabatnya itu. Ia pun memutuskan untuk setuju saja dengan apa yang dilakukan Lidya.
****
Hari ini pun tiba, hari ulang tahun Irfan. Lidya sudah membawa kado yang sudah dipersiapkannya untuk Irfan yang sudah dibungkus rapi dengan kertas kado. Jauh di dalam lubuk hatinya ia bingung cara memberikan kado itu kepada Irfan. Karena sebelumnya ia tidak pernah berbicara langsung dengan Irfan, ia hanya biasa berbicara lewat pesan singkat. Setelah bertanya dengan sahabat-sahabatnya, ia memutuskan untuk langsung datang ke rumah Irfan sepulang sekolah. Tentu saja dengan ditemani Lala dan Alif.
“La, gimana nih? Kok gue jadi deg-degan gini, ya? Gue pulang aja deh,” kata Lidya setelah tiba di depan gerbang rumah Irfan.
“Ngaco! Udah sampe sini lo mau pulang? Tunggu sebentar, biar Alif yang manggil,” jawab Lala dan menyuruh Alif memanggil Irfan agar keluar.
“Tuh, orangnya udah keluar. Bilang sendiri sana,” kata Lala saat melihat Irfan sudah keluar dari rumahnya.
“Lo aja deh yang bilang. Gue malu, La,” kata Lidya setengah berbisik.
“Eh, ada apa nih pada ke sini?” Kata Irfan sambil membuka pintu gerbang.
“Ini nih, fans lo mau ngasih sesuatu,” kata Alif mengejek dan disusul dengan tawa Lala, sementara Irfan hanya tersenyum.
“Kenapa de? Ada perlu sama Kakak?” Tanya Irfan kepada Lidya.
“E..ini Kak, buat Kakak. Happy birthday, ya,” kata Lidya gugup.
“Wah.. Apa nih? Makasih, ya, de,” jawab Irfan sambil tersenyum tersipu.
“Iya sama-sama,” kata Lidya masih dengan nada gugup.
“La, udah yuk, pulang. Cepetan yuk, La,” kata Lidya sambil menarik-narik kerudung Lala.
“Gak masuk dulu, de?” Tanya Irfan.
“Tau nih, Lidya. Masa langsung pulang?” Kata Alif kemudian.
“Aduuuh, sabar dong. Tuh disuruh masuk dulu. Sakit nih gue ditarik-tarik,” kata Lala jengkel.
“Aah, udah yuk, La. Pulang sekarang aja,” kata Lidya lagi.
“Huuh! Iya, iya. Ya udah deh, aku pulang duluan, ya. Lidya bawel banget nih. Kak, pulang dulu, ya,” kata Lala berpamitan dengan Alif dan Irfan.
“Yaah, ya udah deh. Hati-hati ya di jalan, pelan-pelan bawa motornya,” jawab Alif.
“Iyaa. Kamu juga nanti langsung pulang, ya. Kak Irfan aku pulang, ya. Assalamu’alaikum..” Kata Lala sambil melajukan motornya.
Lidya dan Lala pun pulang meninggalkan Alif dan Irfan yang masih mengobrol di sana. Lidya merasa lega juga malu setelah memberi kado tadi kepada Irfan. Lidya senang sekali bisa ke rumah Irfan meskipun hanya sebentar.
Minggu depan Lidya juga ulang tahun. Lala bermaksud untuk memberitahu Irfan tentang ulang tahun Lidya, tapi Lidya melarangnya. Ia tidak mau Irfan tahu ulang tahunnya dari orang lain, ia ingin Irfan berusaha sendiri untuk mencari tahunya.
Hari ulang tahun Lidya tiba. Lala berencana untuk melakukan sesuatu untuk Lidya, ia ingin menyembunyikan ponsel Lidya dan menitipkannya kepada Irfan.
“Lid, ke kamar mandi, yuk,” kata Fia mengajak Lidya ke kamar mandi.
“Hmm, yuk,” jawab Lidya.
Lidya dan Fia pun ke kamar mandi. Sementara ponsel Lidya sedang dipinjam oleh Lala, dan Lala langsung menjalankan rencananya tanpa sepengetahuan Lidya. Dengan ditemani Risa—teman sekelas mereka juga, Lala menemui Alif untuk menitipkan ponsel Lidya agar diberikan kepada Irfan. Setelah kembali dari kamar mandi, Lidya menanyakan ponselnya kepada Lala.
“La, handphone gue sama lo, kan?” Tanya Lidya.
“Udah gue masukin tas lo,” jawab Lala singkat.
Lidya pun percaya saja dengan jawaban Lala tanpa melihat dulu ke dalam tasnya. Bel pulang sekolah pun berbunyi, Lidya segera melihat tasnya untuk mengambil ponselnya. Setelah beberapa kali mencari dan memeriksa isi tasnya, Lidya tidak menemukan ponselnya.
“La, kok handphone gue gak ada sih? Tadi beneran lo masukin tas gue?” Tanya Lidya panik.
“Iya, beneran. Masa gue bohong sih. Coba lo cari lagi, keselip kali,” kata Lala santai.
“Beneran gak ada. La, serius handphone gue kemana?” Tanya Lidya lagi memastikan.
“Tadi gue masukin tas lo. Udah ah, gue mau ke Alif dulu, ya. Lo tunggu sebentar kayak biasa,” kata Lala kemudian.
“La, becanda lo keterlaluan ih. Balikin handphone gue dulu, La,” kata Lidya mulai marah.
“Ikut gue aja, yuk. Siapa tau ada yang bawa handphone lo,” kata Lala mengajak Lidya ikut dengannya.
Lidya pun mengikuti Lala dengan raut wajah kesal campur sedih. Ia masih memikirkan handphone nya yang hilang itu. Saat sedang memaksa Lala untuk memberitahukan kemana Lala menyembunyikan handphone nya, ada suara dari belakang Lidya yang sangat dikenalinya.
“Ini handphone kamu bukan, de?”
“Ih. Iyaaa. Kok bisa, sih?” Jawab Lidya tak percaya dengan apa yang ada dihadapannya sekarang.
“Ada deh,” kata Kak Irfan lagi.
Lala yang tadi di samping Lidya, perlahan menjauh meninggalkan Lidya dan Irfan yang sedang mengobrol. Ia pun langsung menghampiri Alif yang sedang menunggunya di dekat parkiran sekolah. Lala senang melihat sahabatnya itu senang. Lala yakin, hari ini akan menjadi hari yang tak terlupakan bagi Lidya.  Hari itu Lidya cukup lama mengobrol dengan Irfan dan itu bisa menambah kedekatan mereka berdua.
****
Kadang, kenyataan tak sesuai dengan keinginan. Begitulah kira-kira yang terjadi dengan Lidya. Sejak hari ulang tahunnya, mungkin itu terakhir kali ia berbicara berdua dengan Irfan. Padahal, Lidya berharap ia bisa semakin dekat dengan Irfan setelah mereka berbicara berdua. Sejak hari itu, Irfan tak pernah menghubunginya, iapun tidak berniat untuk menghubungi Irfan duluan. Sampai kabar itu terdengar ke telinganya dari sahabatnya, Lala.
“Lid, gue mau ngomong deh sama lo. Tapi lo jangan kecewa, ya,” kata Lala saat mereka sedang di dalam kelas dan tidak ada guru.
“Apaan sih?” Kata Lidya balik bertanya.
“Kayaknya Kak Irfan lagi suka sama adik kelas, deh. Alif bilang gitu ke gue waktu gue jalan sama dia kemarin,” kata Lala menjelaskan.
“Siapa? Lo gak bohong, kan?” Tanya Lidya memastikan.
“Namanya Irma, anak IPS 2. Udah, ya, lo lupain aja,” kata Lala menenangkan.
“Pantes aja…” Kata Lidya dengan suara parau.
“Gue kan udah pernah bilang sama lo, jangan terlalu serius sama perasaan lo ke dia. Ya udah, ikhlasin aja, ya. Masih banyak kok yang lebih baik dari dia,” kata Lala lagi.
“Iya, ya. Makasih, ya, kalau lo gak bilang gue pasti masih nungguin dia,” jawab Lidya.
“Iyaa. Udah jangan sedih gitu, dong. Temen lo kan masih banyak yang sayang sama lo,” kata Lala mencoba menghibur.
“Iya, iya. Gue juga sih yang salah, orang kayak gitu masih aja diharapin,” kata Lidya.
“Udah jangan salahin diri lo sendiri. lo gak salah kok, dianya aja yang gak punya hati. Ohya, gue juga udah putus, lho, sama Alif,” kata Lala.
“Beneran?? Kok bisa? Kapan?” Tanya Lidya penasaran.
“Kemarin habis jalan, kita udah pikirin baik-baik dan mungkin emang itu jalan yang terbaik buat gue sama dia,” jawab Lala santai.
“Putusnya baik-baik, kan?” Tanya Lidya lagi.
“Iyaa, gue masih tetep temenan kok sama dia. Tenang aja,” jawab Lala lagi.
Mengetahui berita yang diceritakan Lala itu, Lidya mencoba untuk menguatkan dirinya untuk melupakan Irfan yang sudah mengecewakannya. Terlebih saat pulang sekolah hari itu. Hari itu hujan lebat waktu jam pulang sekolah tiba. Terpaksa, Lidya dan Lala menunggu hujan sampai reda bersama sahabat mereka lainnya—Fia dan Nina. Saat melihat parkiran sekolah yang sudah mulai banjir, Lidya melihat di sana masih ada motor Irfan dan juga Alif.
“La, motornya Alif masih ada tuh, Kak Irfan juga. Berarti mereka belum pulang dong?” Kata Lidya kepada Lala.
“Iya kali. Palingan mereka di masjid,” jawab Lala cuek.
Hujan pun mulai sedikit reda. Saat Lala melihat ke arah masjid, ia melihat sosok Alif sedang berjalan ke arahnya. Tapi saat Alif mulai mendekat. ia menghampiri Irma—cewek yang disukai Irfan, dan iapun memberitahu Lidya apa yang sedang dilihatnya. Mereka melihat Alif sedang berbicara dengan Irma. Entah apa yang sedang mereka bicarakan. Kebetulan hari itu Irma ada rapat dengan anak ekskul pramuka jadi ia juga belum pulang. Tak lama kemudian setelah Alif meninggalkan Irma, Irfan pun datang untuk menghampiri Irma. Di situlah puncaknya.
“La, La, liat deh, Kak Irfan nyamperin Irma!” Kata Lidya dengan suara cemas.
“Masa sih?” Tanya Lala tak percaya dan kemudian iapun melihat apa yang sedang dilihat Lidya.
“Kayaknya mereka udah jadian deh, dan sekarang mau pulang bareng. Tuh, liat aja sampe sedeket itu ngobrolnya,” kata Lidya dengan suara tercekat saat melihat Irfan sedang duduk berdua dengan Irma tak jauh dari tempatnya sekarang.
“Lid, udah, udah jangan diliatin. Cuekin aja. Tenang, ya,” kata Lala sambil mengusap punggung Lidya mencoba menenangkan.
“Gue yakin mereka mau pulang bareng,” kata Lidya sambil menahan tangisnya.
Akhirnya, setelah beberapa saat mencoba untuk menahan hujan yang ada di matanya, Lidya pun sudah tak sanggup lagi menahannya. Air matanya telah berjatuhan mulai membanjiri pipinya yang mulus. Ia belum cukup kuat untuk melihat kenyataan yang ada di hadapannya saat itu. Lala, Fia dan Nina yang saat itu sedang ada disampingnya pun berusaha untuk menenangkan Lidya.
“Udah, Lid. Cowok kayak gitu gak pantes buat ditangisin,” kata Fia.
“Iya, sayang air mata lo jatuh buat orang kayak gitu,” sambung Nina.
“Lid, dengerin gue, ya. Ini tuh udah jelas banget kalau Kak Irfan tuh gak baik buat lo. Udahlah lupain aja. Buang-buang waktu kalau lo terus tangisin dia,” kata Lala.
Setelah beberapa saat Lidya terisak dalam tangisnya, iapun sadar dan merenungkan perkataan sahabat-sahabatnya tadi. Lala yang melihat Lidya sudah lebih tenang, segera ke parkiran untuk mengambil motor.
“Lid, pulang, yuk,” kata Lala.
“Iya, udah sana lo pulang aja. Tenangin diri lo,” kata Nina.
“Ya udah deh, gue pulang duluan, ya. Makasih udah nenangin gue tadi,” kata Lidya akhirnya dan berjalan ke arah Lala yang sedang menunggunya di motor.
“Iya, hati-hati,” kata Fia.
“Fi, Nin, gue pulang duluan, ya,” teriak Lala dari motornya kepada Fia dan Nina dan segera melajukan motornya untuk pulang.
 Sejak saat itu, Lidya berusaha untuk melupakan Irfan walaupun itu berat. Ia tidak ingin dikecewakan untuk yang kesekian kalinya. Ia juga tidak mau tahu bagaimana kelanjutan hubungan Irfan dan Irma. Bagi Lidya, Irfan hanya seorang laki-laki yang tidak mempunyai perasaan. Dengan mudah Irfan memberinya harapan dengan segala perhatiannya kepada Lidya dan dengan mudah pula ia menghempaskan segala perasaan Lidya untuknya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PKM Long Journey (Part 2)

Satu Kata Cinta

Masjid dan Kamu (Part 1)